Jual Buku When China Rules The World

Judul: When China Rules The World: The Rise of The Middle Kingdom and The End of The Western World
Penulis: Martin Jacques
Penerbit: Penguin Books, 2009
Bahasa: Inggris
Tebal: 571 halaman
Buku Fisik: Rp. 150.000 (blm ongkir)
Ebook PDF: Rp. 15.000 (email)
SMS/WA: 085225918312


Martin Jacques yakin bahwa ekonomi merupakan satu-satunya penentu kekuatan sebuah negara. Karena itu, ia percaya, menjelang tahun 2050 nanti, hanya ada satu adikuasa. Negara paling perkasa itu tak lain adalah Cina.

Prediksi wartawan senior The Guardian yang juga pengajar tamu di beberapa universitas di Cina itu didasarkan pada perhitungan Goldman Sach atas perkembangan perekonomian Cina. Pendapatnya itu tak mengherankan karena ia seorang marxis dan pernah menjadi redaktur jurnal tentang marxisme di London yang kemudian bangkrut.

Pertanyaan pertama yang mencuat adalah kata when ("ketika" atau "pada waktu") pada judul bukunya. Padahal, proses Cina menjadi mono-adikuasa itu masih merupakan if ("kalau") karena banyak faktor lain di samping ekonomi yang akan menentukan arah perkembangan sebuah negara. Itu disusul dengan pertanyaan lain, apakah Barat (baca: Amerika, Eropa, dan Jepang) memang benar-benar sudah habis dan tak punya kekuatan lagi di segala bidang sehingga harus menyerahkan supremasi kepada Cina.

Dengan perkembangan ekonominya yang begitu pesat, tak diragukan lagi, Cina adalah salah satu negara terkaya, karena reformasi ekonomi pada dasarnya mempraktekkan sistem kapitalisme negara. Jadi, yang kaya itu hanya negara dan sebagian kecil elite yang menikmati hasil reformasi. Karenanya, membagi kue hasil reformasi kepada 1,3 milyar manusia itu adalah pekerjaan rumah bagi para penguasa komunis guna mencegah terjadinya pergolakan yang mengganggu keharmonisan sosial.

Yang lebih menarik adalah argumentasi Jacques tentang Cina sebagai negara budaya. Ia berpendapat, sejak dahulu, dengan berlakunya ajaran Konghucu, Cina tak kenal istilah demokrasi. Memang, dalam tradisi Cina, seorang kaisar menjabat sebagai kepala negara dan orang yang memimpin upacara penyembahan terhadap Langit (Tian). Sebagai Putra Langit (Tianzi), ia wajib melindungi rakyat dan menjamin kehidupan mereka agar tercipta suasana tenteram dan sejahtera. Dengan beralihnya zaman, posisi kaisar digantikan PKC dengan peran yang sama.

Apakah rakyat Cina akan menerima sistem itu? Pada 1919, terjadi Gerakan 4 Mei (Wu Si Yundong), yang menggugat ajaran Konghucu sebagai pembawa kehancuran serta menjadikan Cina sebagai budak imperialisme dan kolonialisme. Para penggugatnya tak lain orang-orang berhaluan kiri, terpengaruh oleh Revolusi Bolshevik di Rusia, dan sebagian dari mereka kemudian membentuk PKC pada 1921. Uniknya, para pemrotes Tiananmen 1989 menghubungkan gerakan mereka dengan Gerakan 4 Mei itu.

Lebih menarik lagi, bertalian dengan ajaran Konghucu itu adalah praktek hubungan luar negeri yang didasarkan pada konsep Zhongguo (Tiongkok). Menurut konsep ini, Cina adalah "negara di tengah mayapada" yang memancarkan kecemerlangan kebudayaan ke seantero dunia. Negara-negara yang berada di luar Zhongguo harus menghormati keluhuran kebudayaan Cina dan tunduk pada keperkasaan militer Tiongkok.

Jacques mengatakan, dengan munculnya Cina sebagai adidaya, sistem itu akan kembali dipraktekkan. Hanya saja, ia tak menjelaskan secara gamblang apa yang akan dilakukan Cina. Apakah akan ada panglima laut seperti Laksamana Cheng Ho yang pada awal abad ke-15 melakukan tujuh pelayaran besar guna memamerkan keluhuran kebudayaan dan keperkasaan militer Cina.

Barangkali juga praktek modern dari sistem itu adalah kedatangan armada Cina secara berkala ke wilayah-wilayah yang dianggap sebagai wilayah pengaruhnya, untuk mengusir kehadiran kekuatan militer lain. Masalahnya sekarang, apakah negara lain akan menerima sistem hubungan internasional seperti itu.

Kalau tradisi kuno itu yang dijalankan kembali, bayangkan seorang pemimpin Indonesia melakukan penghormatan kepada kepala negara Cina. Ia melakukan ketou atau upacara penyembahan kepada Presiden Cina. Sebagai oleh-oleh, khusus ia membawa Jaja dan Juju, sepasang kadal komodo. Pulangnya, ia membawa Yang Yang dan Ying Ying, sepasang panda sebagai oleh-oleh dari Beijing. Ini hanya sebagai perumpamaan tentang betapa tak masuk akalnya ide Martin Jacques itu.